Febriansyah Soebagio, salah seorang
konsultan perencanaan pembangunan mendapat beasiswa dari salah satu
kementerian di Indonesia untuk melanjutkan kuliah di Bendigo, Australia
selama dua tahun. Selama di sana ia sempat mengamati perkembangan Islam.
Berikut catatannya
Bendigo adalah salah satu kota kecil di sebelah utara Melbourne,
bagian dari negara Victoria, Australia. Kota ini terkenal sebagai
penghasil emas pada era 1800-1900. Dari Melbourne berjarak sekitar 130
km. Jika ditempuh dengan menggunakan kereta api atau kendaraan pribadi
memakan waktu sekitar dua jam.
Jumlah penduduk kota ini sekitar 100 ribu jiwa. Mayoritas kulit
putih keturunan dari Eropa. Selain itu, ada komunitas Asia seperti Cina,
Arab, dan Melayu (Singapura, Malaysia, dan Indonesia). Ada juga dari
Afrika dan Amerika Selatan, serta minoritas Aborigin.
Saya tinggal di Bendigo selama dua tahun. Bukan hal yang mudah bagi
seorang Muslim menetap di kota ini. Satu-satunya tempat ibadah hanya
berupa mushalla yang terletak di dalam kampus La Trobe University.
Jika mau menggunakannya harus mendapat izin khusus dari pihak keamanan
kampus. Jamaahnya shalat Jumat tidak lebih dari 50 orang. Bahkan,
beberapa kali hanya empat orang.
Selain itu, masalah lainnya adalah makanan. Hampir semua rumah makan
menyajikan makanan tidak halal. Untungnya, tidak jauh dari kota ini ada
peternakan ayam yang mempekerjakan karyawan Muslim dari Somalia dan
Ethiopia yang bertugas sebagai penyembelih. Ayam-ayam tersebut sebagian
diekspor ke beberapa negara Muslim seperti Malaysia dan negara di
Jazirah Arab. Produknya diakreditasi kehalalannya oleh Australian
Federation of Islamic Councils setiap tahunnya.
Populasi Muslim di Bendigo sangat sedikit, kurang dari 100 orang.
Mayoritasnya adalah pekerja di berbagai sektor seperti perbankan,
teknik, dosen, dokter, akuntan, dan IT. Sedikit dari mereka adalah
pelajar yang tengah melanjutkan kuliah, serta para pengungsi kemanusiaa
dari Timur Tengah.
Peningkatan jumlah penduduk di Australia, khususnya Bendigo,
tergantung oleh pendatang, yang pada akhirnya menentukan pertumbuhan
angka penduduk Muslim. Tercatat bahwa jumlah Muslim di Australia
meningkat setiap tahunnya selama kurun waktu tiga dekade terakhir. Pada
2001 jumlah pemeluk Islam mencapai 281,578 jiwa dan saat ini angka
tersebut diperkirakan membengkak menjadi 500,000. Hal ini menyebabkan
Islam disebut-sebut sebagai agama dengan perkembangan paling pesat di
Australia.
Meski demikian, pola hidup Barat tentu mengancam nilai-nilai
keislaman warga Muslim, terutama yang berusia muda dan berstatus
pelajar. Tak jarang mereka terjebak pada kehidupan malam seperti
diskotik dan minuman keras. Hal ini dipengaruhi oleh pergaulan dan masih
sedikitnya aktivitas keislaman di Bendigo.
Dari sekitar 100 orang pemeluk Islam, beberapa di antaranya adalah
mualaf Australia kulit putih. Salah satunya Abdu Razaq, yang dahulu
bernama Rodney Blackhirst. Pria yang berprofesi sebagai dosen ini mulai
tertarik Islam saat ia bekerja sebagai penjaga toko buku di Melbourne.
Di situlah ia banyak membaca buku-buku bernafaskan Islam.
Ketertarikannya berlanjut saat ia memutuskan berkeliling ke negeri
Muslim di India dan Pakistan, dan mengucapkan dua kalimat syahadat di
sana. Saat ini, selain aktif mengajar, ia berperan penting sebagai
penggerak komunitas Muslim Bendigo yang salah satunya berupaya
mendapatkan dukungan dewan kota dalam mendirikan masjid.
Islam Bendigo di Abad 18
Bila ditelusuri sejarahnya, jauh sebelum komunitas Muslim yang
sekarang ada, Bendigo pernah ditinggali oleh kelompok kecil Muslim yang
berprofesi sebagai hawker. Hawker adalah penjaja barang menggunakan unta
yang mengambil rute perjalanan dari selatan hingga ke bagian utara
Australia.
Hal ini terjadi saat booming emas di tahun 1800 akhir dan bangsa
Inggris yang berkuasa saat itu mendatangkan hawker beragama Muslim dari
Afghanistan dan India. Hawker dibutuhkan untuk membuka akses perdagangan
di medan outback Australia yang berat dan beriklim ekstrem. Dikatakan
ekstrem kerena saat musim panas bersuhu 40 derajat celcius dan musim
dingin minus 10 derajat celcius.
Sebuah penelitian sejarah menemukan jejak Islam pada sebuah situs
kuburan Muslim di komplek pemakaman kuno di White Hills, Bendigo. Salah
satunya adalah kuburan yang bertanda nama “Glaum Muhammad Bux” yang
dikenal juga sebagai Mattab Shaah. Mattab tercatat sebagai hawker dari
India.
Saat musim emas sedang lesu dan mulai diterapkannya kebijakan white
Australia, pemukiman Muslim di Bendigo mulai menghilang. Mereka
dipulangkan ke negeri asal secara paksa dan selama kurun waktu yang
panjang.
Gereja Jadi Masjid
Ada yang menarik. Tidak jauh dari kota Bendigo, tepatnya di daerah
Bostock Avenue, Manifold Heights, ada bangunan gereja yang kini berubah
menjadi masjid.
Saat itu saya hendak bermain ke pantai di Bendigo. Karena sudah tiba
waktu ashar saya mencari masjid. Ketika ditunjuki warga, saya merasa
tidak yakin kalau itu sebuah masjid. Pasalnya, secara bangunan fisik
nampak bangunan gereja. Hanya saja tanda salib di puncak diganti dengan
bulan sabit. Interior desainnya masih seperti gereja. Dihiasi dengan
jendela kaca warna-warni dan ciri khas dinding gereja tahun 1940-an.
Rumah untuk pastur atau pendeta yang terletak di samping gereja pun
telah disulap menjadi madrasah dan ruang serbaguna. Menurut pengurus
masjid, gereja ini telah beralih fungsi sejak tahun 1998. Awalnya
seorang pengusaha Muslim asal Malaysia yang membeli bangunan dan tanah
itu. Kemudian, beberapa pengusaha dari Turki membantu mengurus
sertifikasi dan perizinan hingga akhirnya menjadi masjid seperti saat
ini.
Awalnya, gereja ini adalah Methodist Church yang dibangun pada tahun
1939. Bangunan kepasturan dan sekolah minggu itu dibangun pada tahun
1940. Gereja ini direkonstruksi dari bluestone dan dilengkapi fondasi
kayu pada plafon. Memiliki desain persegi panjang dan pintu masuk begaya
gothic arches.
Beberapa alasan mengapa akhirnya bangunan ini terabaikan adalah,
penutupan gereja lantaran dibentuknya Uniting Church, semacam unifikasi
beberapa aliran Kristen seperti Presbyterian, Methodist, dan
Congregational. Penyebab lainnya, karena tidak adanya jemaat yang datang
ke gereja itu hingga akhirnya gereja itu tidak lagi dibutuhkan.
Kini, dengan era keterbukaan melalui imigrasi dan kedatangan pelajar
asing dari negeri Muslim, bukan tidak mungkin perkembangan komunitas
Muslim akan menjadi lebih besar dari sebelumnya dan bahkan menciptakan
peradabannya sendiri.
Sumber : Majalah Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.